Asing

Husni B.
10 min readDec 13, 2023

Dengan terburu-buru, aku bergerak menuju meja di sebelah jendela yang menghadap tepat ke arah jalan raya sambil membuka laptop, karena kurang dari 5 menit ada meeting yang menungguku. Wajar, waktu sore jalanan memang sering macet, terlebih Jakarta Selatan.

‘Diversifikasi sangat penting. Dengan memiliki saham dari berbagai sektor dan industri, kita bisa mengurangi resiko investasi,‘ kataku dengan sedikit berkeringat.

‘Baik, terima kasih atas saran kamu, akan saya pertimbangkan,’ kata atasanku, mengakhiri meeting tersebut.

‘Atas nama ka Hendra!’ suara seorang barista memanggil dari kejauhan.

Kopi coklat panas dan yogurt blueberry adalah pesanan tidak tergantikanku ketika datang ke Starbucks Reserve Pakubuwono tiap Jumat sore. Pahit kopi membuatku tetap terjaga, sementara coklat dan yogurt memberikan sentuhan manis dan asam yang sempurna untuk menemaniku bekerja.

Meeting tadi menjadi pekerjaan terakhirku pada hari ini, jadi aku bisa santai bermain sosial media sambil menyeruput kopi coklat panas yang sudah mulai mendingin.

‘Bukankah semesta yang pertemukan kita~’

‘Harus kah ku sampaikan pada bintang~’

Sebuah video singkat menunjukkan Ivan Gunawan berenang bertelanjang dada dengan cantiknya. Aku sendiri tidak tahu kenapa ditakdirkan untuk melihat video itu.

Sebuah lantunan lirih lantas menarik perhatianku.

Lalu aku melirik ke belakang, asal suara itu. Seorang cewek mengenakan headset putih dengan rambut coklatnya yang terurai panjang. Sambil bernyanyi lirih, dia tampak sibuk dengan iPad-nya, ditemani dengan segelas kopi hitam disampingnya.

‘Hujan samarkan derasnya tutup air mata~’

‘Temani kecewa ku yang telah lama~’

Salah satu lirik dari lagu berjudul Tampar milik Juicy Luicy. Dalam dua bulan terakhir, aku memang sering mendengarkan beberapa lagu karya mereka, jadi lirik itu terasa akrab bagiku.

‘Gue ajak kenalan ah,’ kataku dengan percaya diri.

Preferensi musik yang sama memperkuat keyakinanku untuk memulai percakapan dengan cewek itu, setidaknya ada topik yang bisa dibicarakan.

‘Berdosa kah ku berdoa~’

‘Minta kau terluka~’

Aku datang menghapirinya. Lalu menyelesaikan lagu itu.

‘Dan tinggalkan dirinya~’

Matanya terbelalak, terkejut ada seseorang yang tidak dia kenal duduk dihadapannya. Wajahnya memerah, malu tidak menyangka ada orang lain yang mendengarnya bernyanyi. Anehnya, itu malah membuat dirinya terlihat lebih cantik.

‘Maaf ganggu kak,’ kataku dengan sedikit malu, kepercayaan diriku sebelumnya memudar. ‘Aku boleh — ’

‘Maaf mas udah punya akun Jenius,’ katanya, menyela perkataanku.

‘Oh, aku gak mau nawarin itu,’ kataku. ‘Tapi emang mirip salesnya sih.’

Aku tersadar, kemeja ungu yang aku pakai memang terlihat seperti sales bank Jenius yang biasa kita temui di dalam mall.

‘Boleh kenalan gak?’ kataku tersenyum tipis sambil mengulurkan tanganku untuk mengajaknya bersalaman. ‘Gue Hendra.’

Sambil melepas headset putih yang dia kenakan, dia membalas senyumku, menerima uluran tanganku, dan berkenalan, ‘Halo, Hendra. Gue Elsa.’

‘Gue suka lagu itu, enak buat didengerin,’ kataku, memulai obrolan. ‘Lo suka lagu itu juga?’

‘Iya, banget.’

‘Kenapa?’

‘Relate aja, gue mendadak bodoh kalau soal cinta,’ kata Elsa. ‘5 tahun yang lalu, gue ngarep jadian sama gebetan gue.’

‘Terus salahnya dimana?’

‘Dia udah punya pacar, bahkan sampai sekarang,’ kata Elsa, sambil tertawa.

Dari situ, kami berbincang soal beberapa hal, seperti lagu kesukaan dan kegiatan sehari-hari. Ternyata, Elsa adalah seorang jurnalis di salah satu perusahaan media yang meliput topik seputar flora dan fauna. Saat ini, Elsa sedang ditugaskan untuk melakukan penelitian tentang orangutan Kalimantan. Sambil menunjukkan hasil risetnya, dia bilang, ‘Tahu gak, 90% DNA orangutan itu mirip dengan manusia. Jadi secara gak langsung kita ini orangutan.’

‘Makanya temen gue banyak yang kayak monyet.’

‘Hendra, monyet sama orangutan itu beda.’

Obrolan kami terasa nyaman, dan aku mulai merasa lega bahwa kejadian tadi yang agak kikuk bisa berubah menjadi pertemuan yang menarik.

Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 7 malam. Elsa harus segera pulang, menyadari bahwa kucingnya belum diberi makan sejak pagi tadi.

‘Sebelum lo cabut, gue minta Instagram lo dong,’ tanyaku. ‘Kita ketemu lagi di lain waktu.’

‘Langsung ke WhatsApp gue aja, sini HP lo,’ kata Elsa, sambil merapikan barang bawaannya.

Aku sendiri tidak mengira akan secepat itu.

Hari Sabtu malam, seminggu setelah pertemuan itu, aku mengajak Elsa untuk bertemu kembali. Kali ini kami makan berdua di balkon McDonald lantai dua. Elsa memesan es krim vanilla dan kentang goreng, dia bilang, ‘Tahu gak, kentang goreng dicocol sama es krim vanilla itu enak banget.’

‘Lo harus coba,’ kata Elsa, meyakinkanku.

‘Aneh rasanya,’ kataku, mencoba dengan satu gigitan kecil.

‘Semua hal di dunia ini aneh, nanti gak aneh kalau udah di surga,’ kata Elsa, dengan nada serius.

Disana, Elsa bercerita soal ketertarikannya pada orangutan Kalimantan dan mimpinya untuk melihat mereka langsung di habitat aslinya. Menurutnya, orangutan penting untuk ekosistem hutan karena berperan sebagai pemencar alami biji-bijian. ‘Makanya gue jadi jurnalis, biar bisa melihat mereka lebih dekat suatu saat nanti,’ kata Elsa, matanya berbinar-binar.

Sebagai orang yang tinggal di kota besar adalah sebuah impian, tentu itu berbanding terbalik denganku, menurutku berada di tengah hutan akan sangat merepotkan. Tapi aku menghargai tujuannya, dan aku mengagumi itu.

Mengagumi keberanian seorang perempuan yang mimpinya berbeda dari yang lainnya. Dimana untuk orang lain, sebuah kebahagiaan tinggal di kota besar dengan hiburan yang tidak terbatas. Dimana memiliki karir di ibu kota adalah suatu hal yang membanggakan.

Setelah mengobrol cukup lama, kami memutuskan untuk berpindah tempat, ke salah satu tempat favoritku untuk membaca buku maupun bekerja. Kami duduk berdua di tepi danau di Senayan Park, sambil memakan durian yang kami beli di tengah perjalanan. Di sana, kami berdebat cukup lama tentang keluarga yang terkadang menjadi penghalang seseorang untuk bermimpi.

‘Faktor kesuksesan buat keluarga itu jadi PNS atau pegawai BUMN. Masalahnya, gak semua orang cocok sama pekerjaan itu,’ kata Elsa. ‘Jadinya, mereka harus memilih antara bekerja sesuai passion atau memenuhi harapan orang lain. Makanya banyak orang yang kalau gak musuhan sama keluarga, ya gak menikmati pekerjaanya.’

‘Nyatanya hidup gak semanis durian ini.’

‘Iya, betul juga sih,’ kata Elsa. ‘Cuma, baunya agak ganggu orang.’

Aku paham maksud Elsa, aku rasa pemikiran itu timbul karena dia tidak begitu akur dengan orang tuanya. Perjalanan Elsa untuk menjadi jurnalis memang tidaklah mudah. Elsa memerlukan waktu 1 tahun untuk meyakinkan ayahnya agar dia bisa kuliah jurnalistik. Maklum, ayahnya adalah seorang PNS, makanya Elsa selalu disarankan untuk mengikuti jejak ayahnya. Meski begitu, Elsa tetap yakin dengan mimpinya.

Semakin lama kami mengobrol, semakin aku merasa menemukan sebuah buku dongeng. Seorang perempuan yang tidak pernah kehabisan kisah untuk diceritakan. Seorang perempuan yang mampu menghadapi banyak rintangan berat, layaknya tokoh utama dalam kisahnya.

‘Gue pernah ketinggalan pesawat gara-gara bangun kesiangan. Tapi gue bilang ke bokap kalau pesawatnya mogok, dan dia percaya,’ kata Elsa, bercerita ketika dia hampir melewatkan perayaan natal karena kecerobohannya.

‘Tahu gak, ada cewe di kantor gue baru setahun kerja udah diangkat jadi manajer. Sedangkan gue udah 3 tahun lebih masih jadi staff biasa. Setelah gue cek, ternyata dia anaknya direktur pemasaran,’ kata Elsa, bercerita tentang kekesalannya terhadap drama politik di kantornya.

‘Kalau kita ke pantai terus ketemu ombak, kita manggilnya om atau mbak?’ kata Elsa, tiba-tiba dengan jokes bapak-bapaknya. Sialnya, candaan itu membuatku tertawa.

Aku memang belum lama mengenal Elsa, namun rasanya seperti sudah mengenalnya paling. Semua tentangnya dan tertawa dengannya.

Setelah pertemuan itu, kami jadi punya jadwal rutin tidak resmi. Setiap malam minggu, aku akan mengajaknya keluar. Kegiatannya pun beraneka ragam. Kami pernah pergi hanya untuk makan bakso legendaris di Senayan rekomendasi ayah Elsa. Kami juga pernah keluar hanya untuk menemaninya ke Miniso, lalu berjalan mengelilingi mall sambil ngomongin outfit orang sekitar.

Pada suatu malam, selepas makan ramen, lagi-lagi di Senayan Park, kami berdiskusi panjang soal luka masa lalu.

‘Apa kejadian di masa lalu yang bikin lo suka mimpi, terus kebangun tengah malam?’ tanya Elsa.

‘Gue pernah tersesat di tengah hutan waktu naik gunung gara-gara dikejar babi hutan,’ kataku. ‘Dia berhenti ngejar setelah satu jam gue lari. Setelah itu gue pernah mimpi jadi babi hutan lagi ngejar seorang pendaki.’

Mata Elsa terbuka lebar. ‘Pantesan lo gak mau lagi ke hutan. Ternyata trauma sama babi hutan.’

‘Begitulah kira-kira,’ kataku. ‘Kalau lo apa? Mimpi yang bikin kebangun.’

‘Waktu bokap marahin gue karena memutuskan buat jadi jurnalis ketimbang jadi PNS seperti dirinya, dia bilang masa depan jurnalis gak menentu,’ katanya. ‘Dia bilang Papah sedih kalau kamu hidup susah nantinya. Dari situ gue pernah mimpi main Zuma seumur hidup karena ngikutin apa kata bokap. Serem banget.’

‘Sekarang kan udah jadi jurnalis, masa masih takut sama Zuma,’ kataku.

‘Gak juga sih, malah gue punya skor Zuma tertinggi ngalahin bokap gue,’ kata Elsa.

Lama sekali kami mengobrol hingga tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Saat pulang, di tengah perjalanan, kami bernyanyi bersama lagu-lagu kesukaan kami.

Sesampainya di rumah Elsa, dia bilang, ‘Minggu depan gue ulang tahun, jangan lupa kasih kado.’

‘Gue kasih anjing mau?’ kataku. ‘Buat nemenin kucing lo.’

‘Jangan dong, nanti mereka berantem,’ kata Elsa, sambil melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Satu minggu penuh aku memikirkan kado yang sempurna buat Elsa. Aku ingin memberikan pengalaman yang tidak terlupakan baginya. Setelah banyak berpikir, munculah sebuah ide.

Pada malam minggu yang spesial, bertepatan dengan ulang tahun Elsa. Aku ingin mengajaknya ke suatu tempat tanpa memberitahunya sebelumnya.

Kami menyusuri lorong gelap yang hanya diterangi sinar lampu kecil yang berserakan di sepanjang jalan, membuat Elsa semakin penasaran. Suara musik mulai memecah keheningan, sebuah melodi yang tidak asing di telinga kami berdua.

Elsa menghentikan langkahnya dan terdiam. ‘Ini beneran? Lo gak bercanda kan, Hendra?’

‘Iya beneran, gue gak bercanda,’ kataku, meyakinkannya.

Aku mengajak Elsa untuk menonton band favorit kami, Juicy Luicy, yang sedang tampil di Bengkel Space SCBD. Itulah yang membuatnya terkejut karena ini pertama kali dia melihat mereka tampil secara langsung.

Kemeriahan semakin terasa dengan cahaya gemerlap dari deretan lampu yang menyinari seluruh ruangan. Setiap alunan musik dari panggung menyatu dengan suara riuh penonton. Meski suasana begitu ramai, rasanya hanya ada kami berdua di sana.

Setelah konser berakhir, aku mengajak Elsa untuk makan malam di sebuah restoran yang tidak jauh dari lokasi konser. Kami berjalan di bawah gemerlap lampu gedung perkantoran sekitar.

Tidak terasa, entah siapa yang memulainya, di tengah langkah kami yang beriringan, kami jadi bergandengan tangan menyusuri trotoar. Meski begitu, tidak ada rasa canggung atau aneh. Tidak ada rasa malu atau ragu. Di saat itu aku tahu, kami punya sesuatu yang istimewa.

Sesampainya di restoran, seorang pramusaji dengan ramah menyambut kedatangan kami dan mengantarkan kami ke meja untuk dua orang. Lalu kami mengobrol soal konser tadi. Elsa terheran, ‘Kok lo bisa kepikiran sih bawa gue ke konser Juicy Luicy?’

‘Ya bisalah,’ kataku, berlagak sombong. ‘Jadi gue teringat bagaimana pertama kali kita bertemu.’

‘Oh gitu. Gue gak nyangka pertemuan terakhir kita bakal seindah ini.’

‘Hah? Maksud lo?’

‘Lusa gue berangkat ke Kalimantan buat ngelanjutin riset.’

‘Ini gak mungkin, kan?’ kataku. ‘Kok mendadak gini sih. Gak bisa diundur lagi?’

Elsa terdiam. ‘Maaf ya, Hendra. Ini keputusan kantor dan ini mimpi gue.’

‘Jadi kita gak akan ketemu lagi?’

‘Gue bakal tetep ngabarin lo lewat WhatsApp kok, komunikasi itu penting.’

‘Kalau nomer lo ganti?’

‘Ya udah sih, tinggal DM aja, kan ada Instagram. Ribet amat.’

Aku memandangi mata Elsa, dalam.

‘Kenapa?’ tanya dia.

‘Gue gak tau harus bersikap apa, bahagia atau sedih. Gue bahagia akhirnya mimpi lo jadi kenyataan, tapi gue juga sedih kita bakal berpisah.’

Elsa tersenyum lebar. Wajahnya terlihat samar oleh redupnya cahaya lilin di tengah meja. ‘Percaya deh, pertemuan kita akan ada artinya. Lagian gue gak pergi jauh, cuma pindah pulau aja.’

‘Kakak mau pesan apa?’ tanya seorang pramusaji di tengah percakapan serius kami.

‘Kayaknya pesan nanti aja deh mba, ini soal hidup dan mati,’ kataku, sambil mengernyitkan dahi.

Dalam suasana restoran yang tenang, percakapan serius kami berlanjut.

‘Jadi artinya percuma deket sama seseorang kalau akhirnya bakal berpisah juga? percuma membangun kisah bersama kalau akhirnya jadi kenangan juga, gitu?’ tanyaku.

‘Gak gitu. Yang jelas, pertemuan kita gak percuma,’ kata Elsa, melihat tajam ke diriku.

Aku mengangguk, tertunduk menutupi rasa sedihku. Malam yang awalnya menyenangkan, seketika berubah menjadi sendu. Langkah lembut pramusaji yang meninggalkan meja kami menciptakan kesunyian yang terasa semakin dalam.

Dalam keheningan itu, Elsa akhirnya memecahnya dengan sedikit candaan, ‘Dramatis banget lo. Santai aja, kita pasti bisa menjalani semua ini dengan baik.’

Aku tersenyum tipis, mencoba menyingkirkan bayang-bayang kepergian yang sudah di depan mata, ‘Tapi tetap aja, sayang banget kita harus berpisah.’

‘Kita mungkin berpisah, tapi gak ada yang tahu apa yang menanti di depan.’

‘Tapi tetap aja, gak ada jaminan kita bakal ketemu lagi nanti.’

Elsa tertawa kecil, ‘Siapa tahu, mungkin kita bakal ketemu lagi di tengah jalan hidup kita. Atau mungkin ini bakal jadi kenangan yang menyenangkan di masa lalu kita.‘

Setelah kepergian Elsa waktu itu, kami masih sering bertukar kabar. Pernah dia bercerita tentang mengejar kawanan pemburu ilegal selama 5 hari. Dia juga bercerita pernah ditampar orangutan yang marah karena meliput terlalu dekat, belum kenal tapi sok asik katanya.

Minggu silih berganti ke bulan, kami seakan perlahan-lahan menjauh. Pesan sempat terbalas, tapi lama kelamaan, dengan kehidupan baru, kami perlahan mulai menghilang. Sesekali aku membalas story Instagramnya untuk menghidupkan kembali obrolan kami. Namun hanya beberapa saat, lalu pesanku tidak terbalas, hanya terbaca olehnya.

Elsa benar-benar sibuk dengan kehidupan barunya.

Aku mulai kelelahan dengan komunikasi satu arah ini, tapi aku tidak bisa melepaskannya begitu saja. Investasi waktu dan perasaanku terlanjur besar, dan aku tidak ingin semuanya sia-sia. Rasa kecewa tumbuh, merasa usahaku tidak dihargai olehnya.

Aku pernah bermain Zuma sangat lama hanya untuk menandingi skor tertinggi Elsa. Aku juga pernah datang ke McDonald hanya untuk memesan kentang goreng dan es krim vanilla. Lagi-lagi, obrolan hanya berlangsung sesaat dan berakhir dengan pesanku yang tidak terbalas.

Di waktu itu aku mulai meyakini kalau pertemuan kami percuma.

Hari demi hari menerima kenyataan bahwa Elsa tidak akan kembali lagi. Lagu yang dulu kami nyanyikan bersama, sekarang aku nikmati sendiri. Terkadang dia hadir dalam mimpi, sedikit mengobati hati, meski terbangun tanpa kehadirannya.

Di tengah perjalanan menuju Starbuck Reserve Pakubuwono, seperti biasanya di Jumat sore, aku teringat seorang teman pernah berkata, ‘Seseorang masuk ke dalam hidupmu dengan alasan tertentu. Sesaat atau seumur hidup.’

Lalu aku mulai mencoba memahami arti lain dari pertemuan ini. Terkadang seseorang datang ke dalam hidup untuk memberikan pemahaman, pelajaran, atau menunjukkan sesuatu. Setelah fase itu berakhir, hubungan itu pun berakhir dengan sendirinya.

Meskipun aku sudah berusaha mempertahankannya, akhirnya aku menyadari bahwa hal itu hanya akan menguras energi dan lebih menyakitkan daripada menyembuhkan. Orang berubah, situasi berubah, dan oleh karena itu hubungan pun berubah.

Waktu itu dia bilang kalau pertemuan kita akan ada artinya.

‘Untuk tahu betapa indahnya sebuah perpisahan,’ aku rasa itulah arti dari pertemuan kami.

Masih di meja yang sama, meja tempat pertama kali kami bertemu, pikiran ini masih penuh dengan tanda tanya. Dulu, kami begitu dekat, kenapa bisa kini berubah asing? Tidak lagi saling menyapa, seakan lupa aku pernah singgah di hidupnya.

Lupakah kau sebenarnya?

--

--